Pengikut

Sabtu, 13 Agustus 2011

Kekerasan Terhadap Anak


KEKERASAN PADA ANAK

Hari-hari pertama tahun 2006, media massa banyak memberitakan berbagai tindak kekerasan terhadap anak. Apa yang terjadi?
Dua balita kakak beradik dibakar ibunya di Kecamatan Serpong, Tangerang (Kompas, 4/1). Di Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, gadis usia tujuh tahun yang sering dianiaya, dibunuh ibu tirinya setelah diperkosa pamannya sendiri (Kompas, 3/1). Gadis usia delapan tahun disetrika kakinya oleh ayah kandungnya karena dituduh mencuri uang (Kompas, 11/1).
Ini baru sebagian kecil dari berbagai kasus kekerasan yang mengawali tahun 2006, tahun yang oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) bekerja sama dengan Kantor Menko Kesejahteraan Rakyat dicanangkan sebagai tahun kampanye Hentikan Kekerasan pada Anak, Sekarang! (Kompas, 22/12/2005).
Kita bertanya-tanya, apa yang sedang terjadi? Mengapa banyak orang dewasa tega melakukan tindak kekerasan terhadap anak, bahkan anaknya sendiri dan beberapa di antaranya sampai mati?

Paradigma keliru
Jauh sebelum kasus Arie Hanggara tahun 1983, ada paradigma keliru tentang anak di kalangan banyak orangtua. Seolah anak adalah hak milik orangtua yang boleh diperlakukan semaunya, asal dengan alasan yang menurut orangtua masuk akal. Data Komnas PA menunjukkan, kekerasan pada anak tidak mengenal strata sosial. Di kalangan menengah ke bawah, kekerasan pada anak karena faktor kemiskinan. Di kalangan menengah ke atas, karena ambisi orangtua untuk menjadikan anaknya yang terbaik, di sekolah, di masyarakat, termasuk selebritis cilik agar bisa tampil di televisi. Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan, Komnas PA mencatat, anak (9 tahun) korban kekerasan, akhirnya ingin membunuh ibunya jika ia bertemu.
Ini semua akibat tindak kekerasan pada anak. Paradigma keliru yang menganggap anak tidak memiliki hak, dan harus selalu menurut orangtuanya, harus diakhiri. Sudah saatnya orangtua menyadari, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa lainnya yang harus dihargai. Maka, hak-hak anak perlu ditegakkan, antara lain hak untuk hidup layak, tumbuh, dan berkembang optimal; memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak. Hak anak tercantum dalam Konvensi Hak Anak yang diratifikasi Pemerintah Indonesia tahun 1990, disusul disahkannya UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang mencantumkan berbagai sanksi bagi pelanggaran hak anak. Bahkan, pasal 80 UU Perlindungan Anak menyebutkan, orangtua diposisikan pada garda paling depan bagi upaya perlindungan anak, di mana sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak kekerasan terhadap anak akan ditambah sepertiga jika yang melakukan adalah orangtuanya sendiri. Hal itu harus terus disosialisasikan oleh pemerintah, media, LSM, lembaga pendidikan, perorangan maupun organisasi yang memiliki akses kepada ibu dan keluarga, untuk mengubah paradigma keliru tentang anak. Selama ini, pembicaraan soal hak anak hanya muncul menjelang Hari Anak Nasional, lalu dilupakan.
Kampanye tahun 2006, Hentikan Kekerasan pada Anak, Sekarang! sepatutnya mendapat dukungan luas, dimulai dari ibu-ibu PKK di tiap provinsi. Hal itu diawali dari perubahan sikap sederhana, bahwa membentak atau menjewer telinga anak adalah tindak kekerasan yang harus ditinggalkan. Suasana kekeluargaan di RT/RW perlu ditingkatkan sehingga ada kepedulian antarwarga jika ada yang menghadapi masalah seperti stres atau depresi. Dengan demikian, masing-masing saling mengingatkan jika mulai muncul gejala tindak kekerasan terhadap anak. Juga perlu ditegakkan law enforcement. Pelaku tindak kekerasan pada anak seharusnya dikenai sanksi pidana maksimal. Dengan demikian, paradigma keliru mengenai anak bisa diubah bertahap.

Bangsa yang besar
Kekerasan terhadap anak juga banyak dijumpai di lingkungan sekolah. Kurikulum yang terlalu padat dan tidak berpihak pada anak, sikap beberapa oknum guru yang kadang kasar dan memberi hukuman fisik dengan dalih menanamkan disiplin, dan serangkaian bentuk kekerasan terhadap anak, tidak dapat dibenarkan.
Bagi anak, belajar yang efektif justru belajar yang menyenangkan, bukan belajar yang penuh rasa takut atau tertekan.
Di sisi lain, anak-anak juga mendapat tindak kekerasan dari lingkungan masyarakat. Tayangan TV yang didominasi berbagai berita maupun sinetron bernuansa kekerasan, contoh masyarakat yang menggunakan kekerasan sebagai jalan pemecahan masalah maupun perilaku para tokoh yang seharusnya menjadi panutan namun justru mencontohkan kekerasan, adalah rangkaian bentuk kekerasan yang amat besar pengaruhnya bagi pembentukan kepribadian anak di masa datang.
Tindak kekerasan terhadap anak dan tidak bisa dilupakan adalah bila dilakukan oleh negara. Betapa banyak pembiaran (by omission) yang dilakukan negara terhadap jutaan anak di negeri ini. Dari mulai pembiaran terhadap ratusan ribu anak jalanan yang terpanggang terik matahari di jalan-jalan raya dan jumlahnya kian meningkat, anak yang terpaksa harus putus sekolah dari haknya untuk mendapat pendidikan dasar, anak yang kelaparan dan menderita busung lapar karena tidak terpenuhinya hak dasarnya atas kesehatan, ini semua mengakibatkan hilangnya sebuah generasi unggul bangsa.
Ini semua terjadi karena adanya paradigma keliru mengenai anak, baik di kalangan sementara orangtua, pendidik, media elektronik, tokoh panutan maupun pejabat atau pemimpin bangsa. Seolah anak boleh diperlakukan apa saja. Anak tidak boleh bersuara, anak tidak perlu didengar pendapatnya, anak boleh dilupakan dan akhirnya anak bisa diletakkan pada prioritas paling akhir.
Jika keadaan ini dibiarkan terus berlangsung dan kekerasan terhadap anak tidak dihentikan, cepat atau lambat bangsa ini akan runtuh. Karena para pemimpin bangsa ini kelak akan terdiri orang-orang yang memiliki masa kanak-kanak penuh nuansa kekerasan. Mereka telanjur gemar akan kekerasan sehingga akan menyelesaikan berbagai persoalan bangsanya dengan cara-cara penuh kekerasan.
Dulu ada moto, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Benar, karena kita tidak boleh melupakan sejarah masa lalu. Namun untuk membangun sebuah bangsa, kita juga tidak boleh melupakan persiapan untuk masa mendatang. Dan pemimpin bangsa kita di masa datang tidak lain adalah anak-anak masa kini. Anak-anak yang perlu diasuh dengan penuh cinta dan kasih sayang, bukan dengan cara kekerasan.
Untuk itu, agaknya kita perlu menambah moto:Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak! Bangsa yang menghentikan kekerasan terhadap anak, sekarang dan untuk selamanya.

Kemiskinan Picu Kekerasan Terhadap Anak

Komisi Nasional Perlindungan Anak menilai faktor ekonomi sebagai pemicu utama maraknya kekerasan terhadap anak. "Kemiskinan menyumbang stres terhadap orang tua yang kemudian melampiaskan ke anak,"ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi ketika mengunjungi Siti Ihtiatus Soleha (8 tahun), korban kekerasan terhadap anak di Sunter. Faktor kemiskinan, tekanan hidup yang semakin meningkat, kemarahan terhadap pasangan dan ketidakberdayaan dalam mengatasi masalah ekonomi menyebabkan orang tua mudah meluapkan emosi kepada anak.
Diperparah dengan berbagai kebijakan pembiaran yang dilakukan negara terhadap pelanggaran hak anak. Kejadian seperti busung lapar, polio, demam berdarah, anak terlantar, anak putus sekolah sampai pada kenaikan BBM merupakan sebagian daftar panjang kebijakan negara yang semakin mempersulit kehidupan masyarakat menengah bawah.
Untuk itu Komisi Nasional Perlindungan Anak mendesak pemerintah untuk benar-benar melaksanakan kewajibannya dalam menghentikan kekerasan, penelantaran, diskriminasi dan eksploitasi terhadap anak. Komnas juga mendesak pemerintah untuk memberi alokasi anggaran khusus untuk anak-anak korban kekerasan. Anak Indonesia harus memperoleh jaminan untuk memperoleh aksesbilitas layanan kesehatan, pendidikan, kelangsungan hidup, tumbuh kembang serta hak partisipasi baik secara fisik maupun psikis.
Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak selama tahun 2005 diketemukan 736 kasus kekerasan terhadap anak yang terbagi atas 327 kasus perlakuan salah secara seksual, 233 kasus perlakuan salah secara fisik, 176 kasus kekerasan psikis dan 130 kasus penelantaran anak. Banyaknya kasus tersebut sangat memprihatinkan, apalagi tahun 2006 telah dicanangkan sebagai Tahun Hentikan Kekerasan terhadap Anak.

PELAKU KEKERASAN PADA ANAK : Apakah hukuman saja cukup?
Akhir-akhir ini media dihebohkan dengan maraknya pemberitaan kekerasan terhadap anak-anak. Dalam berbagai berita dikesankan bahwa seolah-olah kekerasan seperti itu meningkat drastis aknir-akhir ini. Ini tentu tidak benar, kekerasan terhadap anak dalam segala bentuk dan kualitasnya telah lama terjadi di komunitas kita. Berita-berita tersebut makin marak karena semakin baiknya kinerja wartawan dan kejenuhan pemirsa terhadap berbagai berita politk dan social yang mengisi wahana informasi publik. Apakah, pemberitaan itu juga mencerminkan perhatian publik yang makin serius dengan persoalan ini? Hal ini susah diukur, karena sejak lama kita telah disuguhi dengan berbagai kasus kekerasan terhadap anak yang tingkat kesadisannya bervariasi, tetapi komunitas terpelajar dan pengembang kebijakan “tenang-tenang” saja, seperti menderita sindroma ketakberdayaan.
Diberlakukannya UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak seolah menjadi antiklimaks dari banyak aktivis perlindungan anak. Padahal UU ini saja tidak cukup untuk menurunkan tingkat kejadian kekerasan pada anak. UU ini juga belum dapat diharapkan untuk mempunyai efek deteren karena belum banyak dikenal oleh aparat maupun masyarakat. Oleh karena itu, kekerasan terhadap anak akan tetap berlanjut dan jumlah kejadiannya tidak akan menurun karena sikon hidup saat ini sangat sulit dan kesulitan ekonomi akan memicu berbagai ketegangan dalam rumah tangga yang akan merugikan pihak-pihak yang paling lemah dalam keluarga itu. Anak adalah pihak yang paling lemah dibanding anggota keluarga yang lain.
Di Indonesia sistem seperti itu belum ada, kita mempunyai pihak-pihak yang dianggap berwenang dan berkompeten dalam menangani kasus-kasus kekerasaan seperti tokoh masyarakat, pejabat pemerintahan sampai pada tingkat kelurahan, kepolisian, pekerja sosial masyarakat, pendidik, dan profesi kesehatan – tetapi peranan mereka tidak diatur salam sebuah sistem yang memungkinkan mereka saling bekerja sama dan tidak ada kebijakan pemerintah yang membebaskan biaya terhadap tindakan yang diambil untuk meyelamatkan anak. Oleh karena itu jangan heran jika masyarakat tidak tahu apa yang mereka perbuat, takut, atau ragu-ragu untuk melaporkan dan mengambil tindakan jika melihat peristiwa kekerasan tehadap anak.
Hal lain yang perlu dipikirkan adalah apa yang harus dilakukan terhadap pelaku kekerasaan. Dari berbagai pemberitaan yang muncul di media massa, tidak diketahuia apakah para pelaku adalah orang-orang yang mengalami gangguan emosional serius atau pernah menjadi korban kekerasaan pada waktu mereka masih kanak-kanak. Yang tampak jelas adalah bahwa pelaku kekerasaan adalah orang tua yang mengalami tekanan ekonomi cukup berat dan persoalan relasi gender. Untuk itu hukuman yang didasarkan atas UU saja tentu tidak cukup.
Mengatasi kekerasan terhadap anak yang cukup endemik di Indonesia pasti tidak cukup dengan menghukum para pelakunya saja. Advokasi dan pendidikan masyarakat yang intensif sangat dibutuhkan, demikian juga penanganan sosial psikologis terhadap pelaku. Setiap pelaku kekerasaan seperti yang diberitakan oleh media akan menerima berbagai bentuk hukuman baik dari rasa bersalah terhadap dirinya sendiri, dari keluarga dan masyarakat sekitarnya dan dari instansi peradilan. Semua bentuk hukuman ini tidak akan membuat para pelaku jera untuk melakukannya lagi karena tindak kekerasaan terhadap anak merupakan masalah kognitif ( cara berfikir ), perilaku ( terbentuknya kebiasaan untuk bereaksi terhadap perilaku anak ), dan sosial kultural ( adanya keyakinan dan praktik-praktik yang memperoleh legitimasi dan restu masyarakat ). Agar tindakan kekerasaan itu tidak berulang kembali maka para pelaku harus dibantu untuk mengatasi berbagai persoalan dalam ranah-ranah tersebut. Tentu ini bukan pekerjaan mudah dan akan memakan waktu cukup lama. Akan tetapi tanpa tindakan seperti itu mereka akan tetap berpotensi untuk melakukan kekerasaan.

by. jiyad

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Blogger Templates